Kerajaan Kutai
di Museum Nasional Republik Indonesia,
Jakarta
Kutai
Martadipura adalah
kerajaan bercorak Hindu
di Nusantara
yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4.
Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan
Timur, tepatnya di
hulu sungai Mahakam.[1][2] Nama Kutai
diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang
menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas
menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat
diperoleh.
Sejarah
Yupa
Prasasti
Kerajaan Kutai
Informasi yang
ada diperoleh dari Yupa
/ prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4.
Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam
menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang
berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah
satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman.
Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor
sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman
Mulawarman
adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman
sangat kental dengan pengaruh bahasa
Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar
dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke
Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman
mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga diketahui
sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang
artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah
satunya adalah Mulawarman.
Putra
Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya
meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera
dan makmur.
Kerajaan Kutai
seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan
pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Berakhir
Kerajaan Kutai
berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji
Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai
Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang
ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama
(Tanjung Kute). Kutai
Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama.
Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Nama-Nama Raja Kutai
- Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
- Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
- Maharaja Mulawarman
- Maharaja Marawijaya Warman
- Maharaja Gajayana Warman
- Maharaja Tungga Warman
- Maharaja Jayanaga Warman
- Maharaja Nalasinga Warman
- Maharaja Nala Parana Tungga
- Maharaja Gadingga Warman Dewa
- Maharaja Indra Warman Dewa
- Maharaja Sangga Warman Dewa
- Maharaja Candrawarman
- Maharaja Sri Langka Dewa
- Maharaja Guna Parana Dewa
- Maharaja Wijaya Warman
- Maharaja Sri Aji Dewa
- Maharaja Mulia Putera
- Maharaja Nala Pandita
- Maharaja Indra Paruta Dewa
Kerajaan Tarumanegara
Maharaja Dharma SetiaPrasasti Ciaruteun
Salinan
gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From
Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun,
dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka
dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta
sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
Gambar telapak kaki pada prasasti
Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
1.
Cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
2.
Cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan
sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan
dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat
Prasasti Tugu di Museum Nasional
Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh
Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22
masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk
menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa
pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Jambu
Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman.
Prasasti Pasir awi
Sepasang cap telapak kaki yang dinyatakan sebagai telapak kaki raja Purnnavarmman, diterakan di prasasti Ciaruteun, Cidanghyang, dan prasasti Pasir Awi. Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
Prasasti Kebonkopi
Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.